Berita

Menyajikan Berita Terlengkap dan Teraktual

Budaya Manggarai Selayang Pandang

Dulu orang Manggarai menganut kepercayaan agama asli yaitu dinamisme dan animism (percaya pada roh-roh halus), mereka berkeyakinan bahwa kebanyak roh (dewa/leluhur) hadir pada pohon-pohon besar (langke), dan di sumber mata air/rawa-rawa. Pohon dan tempat semacam itu dianggap keramat, yang mempunyai kekuatan dan perlindungan (pong). Karenanya, yang mempunyai kekuatan dan perlindungan (pong). Karenanya, nenek moyang Manggarai berupaya menanam kembali bibit pohon besar itu (langke) agar tumbuh ditengah kampong/sekitar kampong yang disebut compang. Compang itu berbentuk bundar, di tengah-tengah compang tumbuh pohon besar (langke), yang dijadikan tempat sesajian. Dengan adanya compang itu, orang merasa diberi kekuatan, dapat menyejukkan hati dan pikiran, terlindungi dari ancaman. Barangkali ini mirip dengan apa yang diistilahkan oleh Nadjib, spiritual guard yakni melegitimasikan  keabsahan dan kehebatannya. Jadi roh di pohon besar itu dibuatkan lagi berupa compang di tengah kampung. Tetapi Pong ada dua versi: kekuatan yang baik dan yang jahat. Verheijen menjelaskan bahwa orang Manggarai yakin bahwa bila seorang jatuh dari pohon, biasanya dituduhkan kepada darat atau poti tetapi juga kepada jing (roh halus). Memang pada dasarnya, tegas Kleden manusia tak diminta untuk tunduk pada alam. Manusia dan alam menurut Kleden, ada hubungan kewajiban antara keduanya sebagai sasama ciptaan, alam wajib menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikan alam. Dalam kaitan dengan ini, memang cukup berbahaya jika orang salah menggunakan pong, compang, boa, wae teku, bukan bermaksud untuk bersahabat dengan alam, tetapi mau mencari kekuatan gaib, supaya menjadi manusia super, bahwa dengan modal dukun (mbeko) untuk ajang bisnis jual kekuatan yang bisa jadi berujung pada raha rombo lingko/raha rumbu tana (pertumpahan dara merebut tanah ulayat/tanah). Jadi, bukan hukum adat, hukum positif yang dikedepankan, tetapi commercial mbeko. 


Sumber: